Profesional, Inovatif dan Intelek

Februari 22, 2010

Sejarah Maulid Nabi Muhammad SAW

Cinta Sejati Kepada Sang Nabi Shallahu ‘alaihi wa
sallam
Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc.
(Mahasiswa S2 Universitas Islam Madinah)
disadur oleh Mulyanto

HUKUM MENCINTAI NABI SHALALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Pada suatu hari Umar bin Khattab berkata kepada
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya engkau lebih aku cintai dari
segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri”.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pun
menjawab, “Tidak, demi Alloh, hingga aku lebih
engkau cintai daripada dirimu sendiri”. Maka
berkatalah Umar, “Demi Alloh, sekarang engkau lebih
aku cintai daripada diriku sendiri!”. (HR.
Al-Bukhari) [HR. Al-Bukhari dalam Shahihnya, lihat
Fath al-Bari (XI/523) no: 6632]

Di lain kesempatan, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam menegaskan, “Demi Alloh, salah seorang dari
kalian tidak akan dianggap beriman hingga diriku lebih
dia cintai dari pada orang tua, anaknya dan seluruh
manusia”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim) [HR.
Al-Bukhari dalam Shahihnya, lihat Fath al-Bari (I/58)
no: 15, dan Muslim dalam Shahihnya (I/67 no: 69)]

Banyak sekali hadits-hadits yang senada dengan dua
hadits di atas, yang menekankan wajibnya mencintai
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, karena hal itu
merupakan salah satu inti agama, hingga keimanan
seseorang tidak dianggap sempurna hingga dia
merealisasikan cinta tersebut. Bahkan seorang muslim
tidak mencukupkan diri dengan hanya memiliki rasa
cinta kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam saja,
akan tetapi dia dituntut untuk mengedepankan
kecintaannya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam -tentunya setelah kecintaan kepada Alloh- atas
kecintaan dia kepada dirinya sendiri, orang tua, anak
dan seluruh manusia.

POTRET KECINTAAN PARA SAHABAT KEPADA NABI SHALALLAHU
‘ALAIHI WA SALLAM
Bicara masalah cinta Rasul shalallahu ‘alaihi wa
sallam, para sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam, tanpa diragukan lagi adalah orang terdepan
dalam perealisasian kecintaan mereka kepada Beliau
shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa? Sebab cinta
dan kasih sayang merupakan buah dari perkenalan, dan
para sahabat merupakan orang yang paling mengenal dan
paling mengetahui kedudukan Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam, maka tidak mengherankan jika
cinta mereka kepada Beliau jauh lebih besar dan lebih
dalam dibandingkan kecintaan orang-orang yang datang
sesudah mereka.

Di antara bukti perkataan di atas, adalah suatu
kejadian yang terekam dalam sejarah yaitu:
Perbincangan yang terjadi antara Abu Sufyan bin Harb
–sebelum ia masuk Islam- dengan sahabat Zaid bin
ad-Datsinah rodhiallohu ‘anhu ketika beliau tertawan
oleh kaum musyrikin lantas dikeluarkan oleh penduduk
Mekkah dari tanah haram untuk dibunuh. Abu Sufyan
berkata, “Ya Zaid, maukah posisi kamu sekarang
digantikan oleh Muhammad dan kami penggal lehernya,
kemudian engkau kami bebaskan kembali ke
keluargamu?”. Serta merta Zaid menimpali, “Demi
Alloh, aku sama sekali tidak rela jika Muhammad
sekarang berada di rumahnya tertusuk sebuah duri,
dalam keadaan aku berada di rumahku bersama
keluargaku!!!”. Maka Abu Sufyan pun berkata,
“Tidak pernah aku mendapatkan seseorang mencintai
orang lain seperti cintanya para sahabat Muhammad
kepada Muhammad!”. [Al-Bidayah wa an-Nihayah, karya
Ibnu Katsir (V/505), dan kisah ini diriwayatkan pula
oleh al-Baihaqy dalam Dalail an-Nubuwwah (III/326)]

Kisah lain diceritakan oleh sahabat Anas bin Malik
rodhiallohu ‘anhu, “Di tengah-tengah berkecamuknya
peperangan Uhud, tersebar desas-desus di antara
penduduk Madinah bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam terbunuh, hingga terdengarlah isakan tangisan
di penjuru kota Madinah. Maka keluarlah seorang wanita
dari kalangan kaum Anshar dari rumahnya, di
tengah-tengah jalan dia diberitahu bahwa bapaknya,
anaknya, suaminya dan saudara kandungnya telah tewas
terbunuh di medan perang. Ketika dia memasuki
sisa-sisa kancah peperangan, dia melewati beberapa
jasad yang bergelimpangan, “Siapakah ini?”, tanya
perempuan itu. “Bapakmu, saudaramu, suamimu dan
anakmu!”, jawab orang-orang yang ada di situ.
Perempuan itu segera menyahut, “Apa yang terjadi
dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam?!”.
Mereka menjawab, “Itu ada di depanmu”. Maka
perempuan itu bergegas menuju Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam dan menarik bajunya seraya
berkata, “Demi Alloh wahai Rasulullah, aku tidak
akan mempedulikan (apapun yang menimpa diriku) selama
engkau selamat!”. [Disebutkan oleh al-Haitsami dalam
Majma’ az-Zawaid (VI/115), dan dia berkata,
“Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath dari
syaikhnya Muhammad bin Su’aib dan aku tidak
mengenalnya, sedangkan perawi yang lain adalah
terpercaya”. Diriwayatkan pula oleh Abu Nu’aim
dalam al-Hilyah (II/72, 332)]. Demikianlah sebagian
dari potret kepatriotan para sahabat Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam dalam mengungkapkan rasa cinta
mereka kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam.

PAHALA BAGI ORANG YANG MENCINTAI NABI SHALALLAHU
‘ALAIHI WA SALLAM
Tentunya cinta Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
merupakan suatu ibadah yang amat besar pahalanya.
Banyak ayat-ayat Al Quran maupun hadits-hadits Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan
ganjaran yang akan diperoleh seorang hamba dari
kecintaan dia kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam. Di antara dalil-dalil tersebut:

Anas bin Malik rodhiallohu ‘anhu mengisahkan, “Ada
seseorang yang bertanya kepada Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam tentang hari kiamat, “Kapankah
kiamat datang?”. Nabi pun shalallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, “Apa yang telah engkau persiapkan
untuk menghadapinya?”. Orang itu menjawab, “Wahai
Rasulullah, aku belum mempersiapkan shalat dan puasa
yang banyak, hanya saja aku mencintai Alloh dan
Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam”. Maka
Rasulullah pun shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Seseorang (di hari kiamat) akan bersama
orang yang dicintainya, dan engkau akan bersama yang
engkau cintai”. Anas pun berkata, “Kami tidak
lebih bahagia daripada mendengarkan sabda Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Engkau akan bersama
orang yang engkau cintai”. Anas kembali berkata,
“Aku mencintai Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,
Abu Bakar dan Umar, maka aku berharap akan bisa
bersama mereka (di hari kiamat), dengan cintaku ini
kepada mereka, meskipun aku sendiri belum (bisa)
beramal sebanyak amalan mereka”. [ HR. Al-Bukhari
dalam Shahihnya, lihat Fath al-Bari (X/557 no: 6171)
dan at-Tirmidzi dalam Sunannya (no: 2385)]

Adakah keberuntungan yang lebih besar dari tinggal
bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya di surga kelak??

HAKIKAT CINTA PADA NABI SHALALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
DAN RAGAM MANUSIA DI DALAMNYA
Setelah kita sedikit membahas tentang hukum mencintai
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, beberapa potret
cinta para sahabat kepada Beliau shalallahu ‘alaihi
wa sallam, serta ganjaran yang akan diraih oleh orang
yang mencintai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam, ada perkara yang amat penting untuk kita
ketahui berkenaan dengan masalah ini, yaitu:
bagaimanakah sebenarnya hakikat cinta kepada
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam?,
bagaimanakah seorang muslim mengungkapkan rasa
cintanya kepada al-Habib al-Mushthafa shalallahu
‘alaihi wa sallam?, Apa saja yang harus
direalisasikan oleh seorang muslim agar dia dikatakan
telah mencintai Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam?.
Masalah ini perlu kita angkat, karena di zaman ini
banyak orang yang menisbatkan diri mereka ke agama
Islam mengaku bahwa mereka telah mencintai Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam dan telah
mengagungkannya. Akan tetapi apakah setiap orang yang
mengaku telah merealisasikan sesuatu, dapat diterima
pengakuannya? Ataukah kita harus melihat dan menuntut
darinya bukti-bukti bagi pengakuannya?. Tentunya
alternatif yang kedua-lah yang seyogyanya kita ambil.

Manusia telah terbagi menjadi tiga golongan dalam
memahami makna cinta kepada Nabi shalallahu ‘alaihi
wa sallam:

1. Golongan yang berlebih-lebihan.
2. Golongan yang meremehkan.
3. Golongan tengah.

Kita mulai dari golongan tengah, yakni yang benar
dalam memahami makna cinta kepada Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam. Golongan ini senantiasa
menjadikan Al Quran dan As Sunnah sebagai landasan
mereka dalam mengungkapkan rasa cinta mereka kepada
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun
meneladani para generasi awal umat ini (baca: salafush
shalih) dalam mengungkapkan rasa cinta kepada Beliau
shalallahu ‘alaihi wa sallam, karena salafush shalih
adalah generasi terbaik umat ini, sebagaimana yang
telah ditegaskan oleh Nabi kita shalallahu ‘alaihi
wa sallam dalam suatu hadits yang diriwayatkan Al
Bukhari dan Muslim, “Sebaik-baik manusia adalah
generasiku (para sahabat), kemudian generasi sesudah
mereka (para tabi’in), kemudian generasi sesudah
mereka (para tabi’it tabi’in)”. [HR. Al-Bukhari
dalam Shahihnya, lihat Fath al-Bari (V/258-259, no:
2651), dan Muslim dalam Shahihnya (IV/1962, no: 2533)]

Di antara bukti kecintaan mereka yang hakiki kepada
Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam, antara lain:

1. Meyakini bahwa Beliau shalallahu ‘alaihi wa
sallam benar-benar utusan Alloh subhanahu wa ta’ala,
dan Beliau adalah Rasul yang jujur dan terpercaya,
tidak berdusta maupun didustakan. Juga beriman
bahwasanya beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam
adalah Nabi yang paling akhir, penutup para nabi.
Setiap ada yang mengaku-aku sebagai nabi sesudah
beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam pengakuannya
adalah dusta, palsu dan batil. [Syarh al-Arba’in
an-Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin hal: 137, Ad-Durar as-Saniyyah bi Fawaid
al-Arba’in an-Nawawiyah, hal 38, Syarh al-Arba’in
an-Nawawiyah, oleh Syeikh Shalih Alu Syaikh, hal. 56]
2. Menaati perintah dan menjauhi larangannya. Alloh
menegaskan,
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ
فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ
عَنْهُ فَانتَهُوا
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah”. (QS Al-Hasyr: 7)
3. Membenarkan berita-berita yang beliau sampaikan,
baik itu berupa berita-berita yang telah terjadi
maupun yang belum terjadi, karena berita-berita itu
adalah wahyu yang datang dari Alloh subhanahu wa
ta’ala. Di dalam Al Quran,
وَمَا يَنطِقُ عَنِ
الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا
وَحْيٌ يُوحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu, menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS.
An-Najm: 3-4)
4. Beribadah kepada Alloh dengan tata-cara yang
telah diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam, tanpa ditambah-tambah ataupun dikurangi.
Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي
رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ
حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah
itu suri teladan yang baik bagimu”. (QS Al-Ahzab;
21)
Juga Nabi kita shalallahu ‘alaihi wa sallam
telah menjelaskan, “Barang siapa yang melakukan
suatu amalan yang tidak sesuai dengan petunjukku, maka
amalan itu akan ditolak”. [HR. Muslim dalam
Shahihnya (III/1344 no 1718)]
5. Meyakini bahwa syariat yang berasal dari Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam setingkat dengan
syari’at yang datang dari Alloh subhanahu wa
ta’ala dari segi keharusan untuk mengamalkannya,
karena apa yang disebutkan di dalam As Sunnah, serupa
dengan apa yang disebutkan di dalam Al Quran [Syarh
al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad bin
Shalih al-Utsaimin hal: 138]. Alloh subhanahu wa
ta’ala berfirman:
مَّنْ يُطِعِ الرَّسُولَ
فَقَدْ أَطَاعَ اللّهَ
“Barang siapa yang menaati Rasul itu,
sesungguhnya ia telah menaati Alloh”. (QS An-Nisa:
80)
6. Membela Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam tatkala Beliau masih hidup, dan membela
ajarannya setelah beliau wafat. Dengan cara menghafal,
memahami dan mengamalkan hadits-hadits Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam. Juga menghidupkan sunnahnya dan
menyebarkannya di masyarakat.
7. Mendahulukan cinta kepadanya dari cinta kepada
selainnya. Sebagaimana kisah yang dialami oleh Umar di
atas Akan tetapi jangan sampai dipahami bahwa cinta
kita kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
akan membawa kita untuk bersikap ghuluw
(berlebih-lebihan), sehingga mengangkat kedudukan
beliau melebihi kedudukan yang Alloh subhanahu wa
ta’ala karuniakan kepada Nabi-Nya. Sebagaimana
halnya perbuatan sebagian orang yang membersembahkan
ibadah-ibadah yang seharusnya dipersembahkan hanya
kepada Alloh subhanahu wa ta’ala, dia persembahkan
untuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Contohnya: beristighatsah (meminta pertolongan) dan
memohon kepadanya, meyakini bahwa beliau mengetahui
semua perkara-perkara yang gaib, dan lain sebagainya.
Jauh-jauh hari Nabi kita shalallahu ‘alaihi wa
sallam telah memperingatkan umatnya agar tidak
terjerumus ke dalam sikap ekstrem ini, “Janganlah
kalian berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana
orang-orang Nashrani berlebih-lebihan dalam memuji
(Isa) bin Maryam, sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya,
maka ucapkanlah (bahwa aku): hamba Alloh dan
rasul-Nya”. (HR. Al-Bukhari) [HR. Al-Bukhari dalam
Shahihnya, lihat Fath al-Bari (VI/478 no: 3445)].
8. Termasuk tanda mencintai Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam, adalah mencintai orang-orang yang
dicintainya. Mereka antara lain: keluarga dan
keturunannya (ahlul bait), para sahabatnya [Asy-Syifa
bita’rifi Huquq al-Mushthafa, karya al-Qadli
‘Iyadl (II/573), Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah
(III/407), untuk pembahasan lebih luas silahkan lihat:
Huquq an-Nabi ‘Ala Ummatihi fi Dhaui al-Kitab wa
as-Sunnah, karya Prof. Dr. Muhammad bin Khalifah
at-Tamimi (I/344-358)], serta setiap orang yang
mencintai beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam. Juga
masih dalam kerangka mencintai Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam, adalah kewajiban untuk memusuhi
setiap orang yang memusuhinya serta menjauhi orang
yang menyelisihi sunnahnya dan berbuat bid’ah
[Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa,(2/575),
untuk pembahasan lebih lanjut silahkan lihat: Huquq
an-Nabi ‘Ala Ummatihi (I/359-361)].
Adapun golongan yang meremehkan Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam, adalah orang-orang yang lalai
dalam merealisasikan kecintaan kepada Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak
memperhatikan hak-hak Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam yang telah disebutkan di atas.

Di antara potret peremehan mereka adalah: Sangkaan
mereka bahwa hanya dengan meyakini kerasulan Nabi
Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam sudah cukup
untuk merealisasikan cinta kepada Beliau shalallahu
‘alaihi wa sallam, tanpa harus “capek-capek”
mengikuti tuntunannya dalam kehidupan sehari-hari.

Bahkan di antara mereka ada yang belum bisa menerima
dengan hati legowo tentang kema’shuman
(dilindunginya) Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam
dari kesalahan-kesalahan dalam menyampaikan wahyu,
sehingga perlu untuk dikritisi. Sebagaimana yang
digembar-gemborkan oleh koordinator JIL, Ulil Abshar
Abdalla, “Menurut saya: Rasul Muhammad Saw adalah
tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis,
(sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi
saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai
manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus
panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah)” (Islam
Liberal & Fundamental, Sebuah Pertarungan Wacana, Ulil
Abshar Abdalla dkk, hal 9-10).

Ada juga yang merasa berat untuk meyakini bahwa
tuntunan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bisa
diterapkan di segala zaman, sehingga harus
“bergotong royong” untuk menyusun fikih gaya baru,
yang digelari Fikih Lintas Agama. Dengan alasan
“fiqih klasik tidak mampu lagi menampung
perkembangan kebutuhan manusia modern, termasuk soal
dimensi hubungan agama-agama” (Fiqih Lintas Agama,
Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Nurcholis
Madjid dkk, hal: ix).

Di antara bentuk peremehan terhadap Beliau shalallahu
‘alaihi wa sallam: ulah Koran Denmark
“Jyllands-Posten”, pada hari Sabtu, 26 Sya’ban
1426 / 30 September 2005, dengan memuat karikatur
penghinaan terhadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam. Akhzahumullah wa qatha’a aidiyahum, amien…

Dan masih banyak contoh-contoh nyata lainnya yang
menggambarkan beraneka ragamnya kekurangan banyak
orang yang menisbatkan diri mereka kepada agama Islam
dalam merealisasikan cinta mereka kepada Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam. Yang itu semua
bermuara pada penyakit tidak dijadikannya Al Quran dan
As Sunnah dan pemahaman salaf sebagai barometer dalam
mengukur kecintaan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam.

Golongan ketiga adalah orang-orang yang ghuluw, yaitu
mereka yang berlebih-lebihan dalam mengungkapkan cinta
mereka kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa
sallam, hingga mereka mengada-adakan amalan-amalan
yang sama sekali tidak disyari’atkan oleh Alloh
subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shalallahu
‘alaihi wa sallam, dan tidak pernah dilakukan oleh
salafush shalih yang mana mereka adalah orang-orang
yang paling tinggi kecintaannya kepada Beliau
shalallahu ‘alaihi wa sallam. Golongan ketiga ini
mengira bahwa amalan-amalan tersebut merupakan bukti
kecintaan mereka kepada Nabi kita shalallahu ‘alaihi
wa sallam.

Di antara sikap ekstrem yang mereka tampakkan;
berlebihan dalam mengagung-agungkan Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam, hingga menyifatinya dengan
sifat-sifat yang merupakan hak prerogatif Alloh
subhanahu wa ta’ala. Di antara bukti sikap ini
adalah apa yang ada dalam “Qashidah al-Burdah”
yang sering disenandungkan dalam acara peringatan
maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam:

يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَا
لِي مَنْ أَلُوْذُ بِهِ
سِوَاكَ عِنْدَ حُلُوْلِ
الْحَادِثِ العَمِمِ …
فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ
الدُّنْيَا وَضَرَّتَهَا
وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمُ
اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ

“Wahai insan yang paling mulia (Muhammad shalallahu
‘alaihi wa sallam)!
Tiada seseorang yang dapat kujadikan perlindungan
selain dirimu, ketika datang musibah yang besar. …
Karena kebaikan dunia dan akhirat adalah sebagian
kedermawananmu, dan sebagian dari ilmumu adalah ilmu
lauh (mahfudz) dan qalam” (Tabrid al-Buldah fi
Tarjamati Matn al-Burdah, M. Atiq Nur Rabbani, hal:
56).

La haula wa la quwwata illa billah… Bukankah kita
diperintahkan untuk memohon perlindungan hanya kepada
Alloh subhanahu wa ta’ala ketika tertimpa musibah??
(Lihat: QS Al An’am: 17 dan At Taghabun: 11).
Bukankah kebaikan dunia dan akhirat bersumber dari
Alloh semata?! Kalau bukan kenapa kita selalu
berdo’a: “Rabbana atina fid dun-ya hasanah wa fil
akhirati hasanah…”??. Terus kalau ilmu lauh
mahfudz dan ilmu qalam adalah sebagian dari ilmu Nabi
Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, lantas apa
yang tersisa untuk Robb kita Alloh subhanahu wa
ta’ala??!!. Inaa lillahi wa inna ilaihi raji’un…

Di antara amalan yang sering dipergunakan sebagai
sarana untuk mengungkapkan rasa cinta mereka kepada
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah merayakan
peringatan maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Sampai-sampai sudah menjadi budaya, hingga timbul
semacam ketakutan moral diasingkan dari arena sosial
jika tidak mengikutinya. Bahkan ada yang merasa
berdosa jika tidak turut menyukseskannya.

Pernahkah terbetik pertanyaan dalam benak mereka:
Apakah perayaan maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam ini pernah diperintahkan oleh Beliau shalallahu
‘alaihi wa sallam? Apakah para sahabat Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakannya?
Atau mungkin salah seorang dari generasi Tabi’in
atau Tabi’it tabi’in pernah merayakannya? Kenapa
pertanyaan-pertanyaan ini perlu untuk diajukan? Karena
merekalah generasi yang telah dipuji oleh Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai generasi
terbaik umat ini, dan Beliau shalallahu ‘alaihi wa
sallam telah kabarkan bahwa perpecahan serta bid’ah
akan menjamur setelah masa mereka berlalu. Ditambah
lagi merekalah orang-orang yang paling sempurna dalam
merealisasikan kecintaan kepada Beliau shalallahu
‘alaihi wa sallam.

Merujuk kepada literatur sejarah, kita akan dapatkan
bahwa acara maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
tidak pernah sekalipun dirayakan pada masa tiga
generasi awal umat ini, banyak sekali para ulama kita
yang menegaskan hal ini.

Di antara para ulama yang menjelaskan bahwa Maulid
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
dikerjakan pada masa-masa itu:

1. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalany, sebagaimana
yang dinukil oleh as-Suyuthi dalam Husn al-Maqshid fi
‘Amal al-Maulid lihat al-Hawi lil Fatawa (I/302).
2. Al-Hafidz Abul Khair as-Sakhawy, sebagaimana
yang dinukil oleh Muhammad bin Yusuf ash-Shalihy dalam
Subul al-Huda wa ar-Rasyad fi Sirati Khairi al-’Ibad
(I/439).
3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dalam Iqtidha
ash-Shirath al-Mustaqim, (I/123).
4. Ibnul Qayyim, dalam kitabnya I’lam
al-Muwaqqi’in, (II/390-391).
5. Al-Imam Tajuddin Umar bin Lakhmi al-Fakihani, di
dalam risalahnya: Al-Maurid fi al-Kalami ‘ala
al-Maulid, hal: 8.
6. Al-Imam Abu Zur’ah al-Waqi, sebagaimana yang
dinukil oleh Ahmad bin Muhammad bin ash-Shiddiq dalam
kitabnya Tasynif al-Adzan, hal: 136.
7. Ibnu al-Haj, dalam kitabnya al-Madkhal
(II/11-12, IV/278).
8. Abu Abdillah Muhammad al-Hafar, sebagaimana yang
dinukil oleh Ahmad bin Yahya al-Wansyarisi dalam
kitabnya al-Mi’yar al-Mu’rib wa al-Jami’
al-Mughrib ‘an Fatawa Ulama Ifriqiyah wa al-Andalus
wa al-Maghrib, (VII/99-100).
9. Muhammad Abdussalam asy-Syuqairi, dalam kitabnya
as-Sunan wa al-Mubtada’at al-Muta’alliqah bi
al-Adzkar wa ash-Shalawat, hal: 139.
10. Ali Fikri, dalam kitabnya al-Muhadharat
al-Fikriyah, hal: 128.

Lantas siapakah dan kapankah maulid pertama kali
diadakan?
Maulid pertama kali dirayakan pada abad ke empat
hijriah (kurang lebih empat ratus tahun sesudah
wafatnya Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam)
oleh seorang yang bernama al-Mu’iz lidinillah
al-’Ubaidi, salah seorang raja Kerajaan al-Ubaidiyah
al-Fathimiyah yang mengikuti paham sekte sesat
Bathiniyah (Lihat kesesatan-kesesatan mereka dalam
kitab Fadhaih al-Bathiniyah, karya Abu Hamid
al-Ghazali, dan Kasyful Asrar wa Hatkul Asrar, karya
al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani). Sebagaimana yang
dijelaskan oleh para ulama.

Di antara para ulama yang mengungkapkan fakta ini:

1. Al-Imam al-Muarrikh Ahmad bin Ali al-Maqrizi
asy-Syafi’i (w 766 H), dalam kitabnya al-Mawa’idz
wa al-I’tibar fi Dzikri al-Khuthathi wa al-Atsar,
(I/490).
2. Al-Imam Tajuddin Umar bin Lakhmi al-Fakihani, di
dalam risalahnya: Al-Maurid fi al-Kalami ‘ala
al-Maulid, hal: 8.
3. Ahmad bin Ali Al-Qalqasyandi asy-Syafi’i (w
821), dalam kitabnya Shubh al-A’sya fi Shiyaghat
al-Insya’, (3/502).
4. Hasan As-Sandubi dalam kitabnya Tarikh
al-Ihtifal bi al-Maulid an-Nabawi, hal: 69.
5. Muhammad Bakhit al-Muthi’i (mufti Mesir di
zamannya) dalam kitabnya Ahsan al-Kalam fima
Yata’allaqu bi as-Sunnah wa al-Bid’ah min
al-Ahkam, hal: 59.
6. Ismail bin Muhammad al-Anshari, dalam kitabnya
al-Qaul al-Fashl fi Hukm al-Ihtifal bi Maulid Khair
ar-Rusul shalallahu ‘alaihi wa sallam, hal: 64.
7. Ali Mahfudz, dalam kitabnya al-Ibda’ fi Madhar
al-Ibtida’, hal: 126.
8. Ali Fikri, dalam kitabnya al-Muhadharat
al-Fikriyah, hal: 128.
9. Ali al-Jundi, dalam kitabnya Nafh al-Azhar fi
Maulid al-Mukhtar, (hal: 185-186).

Apa yang melatarbelakanginya untuk mengadakan perayaan
ini? Berhubung mereka telah melakukan pemberontakan
terhadap Khilafah Abbasiyah, dan mendirikan negara
sendiri di Mesir dan Syam yang mereka namai Al
Fathimiyah, maka kaum muslimin di Mesir dan Syam tidak
suka melihat tingkah laku mereka, serta cara mereka
dalam menjalankan tali pemerintahan, hingga pemerintah
kerajaan itu (Bani Ubaid) merasa khawatir akan
digulingkan oleh rakyatnya. Maka dalam rangka
mengambil hati rakyatnya, al-Mu’iz lidinillah
al-’Ubaidi mengadakan acara maulid Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam, ditambah dengan maulid-maulid
lain seperti maulid Fatimah, maulid Ali, maulid Hasan,
maulid Husain dan maulid-maulid lainnya. Termasuk
perayaan Isra Mi’raj dan perayaan tahun Hijriah.
Hingga para ulama zaman itu berjibaku untuk
mengingkari bid’ah-bid’ah itu, begitu pula para
ulama abad kelima dan abad keenam. Pada awal abad
ketujuh kebiasaan buruk itu mulai menular ke Irak,
lewat tangan seorang sufi yang dijuluki al-Mula Umar
bin Muhamad, kemudian kebiasaan itu mulai menyebar ke
penjuru dunia, akibat kejahilan terhadap agama dan
taqlid buta.

Jadi, sebenarnya tujuan utama pengadaan maulid-maulid
itu adalah rekayasa politis untuk melanggengkan
kekuasaan bani Ubaid, dan bukan sama sekali dalam
rangka merealisasikan kecintaan kepada Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam, ataupun kepada ahlul bait!!
(Al-Ihtifal bi al-Maulid an-Nabawi,
Nasy’atuhu-Tarikhuh-Haqiqatuh-Man Ahdatsuh, Ibrahim
bin Muhammad al-Huqail, hal: 5).

Hal lain yang perlu kita ketahui adalah hakikat akidah
orang-orang yang pertama kali mengadakan perayaan
maulid ini. Dan itu bisa kita ketahui dengan
mempelajari hakikat kerajaan Bani Ubaid. Bani Ubaid
adalah keturunan Abdullah bin Maimun al-Qaddah yang
telah terkenal di mata para ulama dengan kekufuran,
kemunafikan, kesesatan dan kebenciannya kepada kaum
mukminin. Lebih dari itu dia kerap membantu
musuh-musuh Islam untuk membantai kaum muslimin,
banyak di antara para ulama muslimin dari kalangan
ahli hadits, ahli fikih maupun orang-orang shalih yang
ia bunuh. Hingga keturunannya pun tumbuh berkembang
dengan membawa pemikirannya, di mana ada kesempatan
mereka akan menampakkan permusuhan itu, jika tidak
memungkinkan maka mereka akan menyembunyikan hakikat
kepercayaannya (Lihat: Ar-Raudhatain fi Akhbar
ad-Daulatain, Abu Syamah asy-Syafi’i, (I/198),
Mukhtashar al-Fatawa lil Ba’li, hal: 488).

Adapun hakikat orang yang pertama kali mengadakan
maulid yaitu al-Mu’iz lidinillah al-’Ubaidi, maka
dia adalah orang yang gemar merangkul orang-orang
Yahudi dan Nasrani, kebalikannya kaum muslimin dia
kucilkan, dialah yang mengubah lafadz azan menjadi
“Hayya ‘ala khairil ‘amal”. Yang lebih parah
lagi, dia turut merangkul paranormal dan memakai
ramalan-ramalan mereka (Lihat: Tarikh al-Islam karya
adz-Dzahabi XXVI/350, an-Nujum az-Zahirah fi Muluk
al-Mishr wa al-Qahirah karya Ibnu Taghribardi IV/75).
Inilah hakikat asal sejarah maulid Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam.

Dan perlu diketahui, bahwa kecintaan kita kepada Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah diukur dengan
merayakan hari kelahiran beliau atau tidak
merayakannya. Bukankah kita juga mencintai Abu Bakar,
Umar, Utsman, Ali dan puluhan ribu sahabat Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam lainnya? Apakah kita
juga harus merayakan hari kelahiran mereka semua,
untuk membuktikan kecintaan kita kepada mereka? Kalau
begitu berapa miliar dana yang harus dikeluarkan?
Bukankah lebih baik dana itu untuk membangun masjid,
madrasah, shadaqah fakir miskin dan maslahat-maslahat
agama lainnya?

Saking berlebihannya sebagian orang dalam masalah ini,
sampai-sampai orang yang senantiasa berusaha
menegakkan akidah yang benar, rajin sholat lima waktu
di masjid, dan terus berusaha untuk mengamalkan
tuntunan-tuntunan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
lainnya, tidak dikatakan mencintai Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam, hanya karena dia tidak mau ikut
maulid. Sebaliknya setiap orang yang mau ikut maulid,
entah dia sholatnya hanya setahun dua kali (idul adha
dan idul fitri), atau dia masih gemar maksiat,
dikatakan cinta kepada Rasul shalallahu ‘alaihi wa
sallam. Bukankah ini salah satu bentuk ketidakadilan
dalam bersikap?

Semoga kita semua termasuk orang-orang yang
merealisasikan kecintaan yang hakiki kepada Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mohon maaf atas segala
kekurangan.

Wallohu ta’ala a’lam, wa shallAllohu ‘ala
nabiyyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi
ajma’in.






_______________________________________________________________________________
Semoga menjadi tambahan pengetahuan kita. Amin
Share:

0 comments:

Posting Komentar

Definition List

Unordered List